Kecurangan (Fraud)

Teori Kecurangan (Fraud)
Menurut Commonwealth Fraud Control Guidelines Australia (2002) dalam tulisan hukum/Infokum/Tematik BPK RI mendefinisikan  fraud sebagai pemerolehan keuntungan dengan cara penipuan/kecurangan atau sejenisnya, definisi ini meliputi antara lain:
1.        Pencurian;
2.        Memperoleh properti, keuntungan, atau lainnya dengan kecurangan;
3.        Menghindari atau melaksanakan dengan kecurangan;
4.        Membuat kesalahan atau menyebarkan informasi yang salah kepada publik,   atau tidak menyebarkan informasi ketika hal tersebut diharuskan;
5.        Membuat, menggunakan, atau memiliki dokumen yang palsu;
6.        Penyuapan, korupsi, atau penyalahgunaan jabatan;
7.      Tindakan melawan hukum dalam penggunaan komputer milik publik, kendaraan, telepon dan properti atau jasa lainnya;
8.        Tindakan pelanggaran atau penyelewengan yang mengakibatkan kebangkrutan;
9.        Dan segala tindakan pelanggaran lainnya seperti yang tertera di atas.
Menurut Widiyastuti dan Pamudji (2009) tindakan fraud dapat dikatakan sebagai kriminal apabila niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan yang tidak jujur tersebut juga sekaligus melanggar ketentuan hukum, misalnya korupsi atau penggelapan pajak.Hal ini didukung juga dalam Tuanakotta (2010) yang menyebutkan bahwa fraud merupakan salah satu tindakan pidana. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan beberapa pasal yang mencakup pengertian fraudseperti :
1.    Pasal 362 tentang pencurian (definisi KUHP: mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum).
2.    Pasal 372 tentang Penggelapan (definisi KUHP : dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan).
3.  Pasal 378 tentang Perbuatan Curang (definisi KUHP : dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya member hutang maupun menghapuskan piutang).   Berdasarkanbeberapa definisi atau pengertian fraud (kecurangan) diatas, maka dapat diketahui bahwa pengertian fraud sangat luas dan dapat dilihat pada beberapa kategori kecurangan.
Secara skematis, Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) menggambarkan occupational fraud itu ke dalam bentuk pohon kecurangan (fraud tree).Pohon ini menggambarkan cabang-cabang dari fraud, ranting, dan anak rantingnya.Occupational fraud mempunyai tiga cabang utama yaitu corruption, asset misappropriation, dan fraudulent statement.

Gambar 2.1.Fraud Tree
Sumber :Association of Certified Fraud Eximiners (2014)

Jenis – Jenis Kecurangan (Fraud)
1.      Korupsi (Corruption)
Definisi corruption menurut Amundsen (1999) adalah sebuah penyakit kanker yang menggerogoti budaya, politik, tatanan ekonomi masyarakat, dan menghancurkan fungsi organ vital.Transparency International menjelaskan korupsimerupakan salah satu tantangan terbesar di dunia.
Singleton dan Singleton (2010) menjelaskan cabang dari korupsi sebagai berikut :
a.  Benturan Kepentingan (Conflict of Interest). Konflik kepentingan terjadi ketika seorang karyawan, manajer, atau eksekutif memiliki kepentingan ekonomi atau pribadi yang tidak diungkapkan dalam transaksi yang berdampak negatif terhadap perusahaan. Konflik kepentingan terdiri dari tiga mikrokategori: skema pembelian, skema penjualan, dan skema lainnya. Perbedaan antara konflik kepentingan dan corruption fraud lainnya adalah kenyataan bahwa fraudster (orang yang melakukan fraud) menggunakan pengaruhnya (misalnya, menyetujui faktur atau tagihan) untuk kepentingan pribadinya.
b.      Penyuapan (Bribery). Penyuapan merupakan sebuah upaya untuk memberikan suatu penawaran, pemberian, penerimaan, atau permohonan sesuatu dengan tujuan untuk mempengaruhi pembuat keputusan dalam memutuskan keputusan bisnis.
c.    Pemberian Ilegal (Illegal Gratuities). Mirip dengan suap, tetapi dengan pemberian ilegal tidak ada maksud untuk mempengaruhi keputusan bisnis. Misalnya, orang yang memiliki pengaruh diberikan hadiah yang mahal, liburan gratis, dan sebagainya untuk mempengaruhinya dalam membuat keputusan negosiasi atau bisnis, tetapi hadiah dilakukan setelah kesepakatan ini tercapai.
d.  Pemerasan Secara Ekonomi (Economic Extortion). Pada dasarnya, pemerasan ekonomi adalah kebalikan dari suap. Karyawan menuntut pembayaran dari vendor karena beranggapan bahwa atas jasanya, vendor dapat secara mulus masuk di perusahaan.
2.      Penyimpangan Asset (Asset Missappropiation)
Asset missappropiation dalam bahasa sehari-hari disebut pencurian (Tuanakotta, 2010). Dalam fraud tree disebutkan ada 3 jenis tindakan dari asset missappropiation yaitu pada cash , fraudulent disbursement dan non-cash. Penyimpangan pada cash yang sering terjadi adalah larceny dan skimming. Larceny merupakan pencurian yang terjadi pada saat uang diterima tetapi uang tersebut disimpan sendiri dan tidak dimasukkan ke dalam perusahaan.Skimming adalah pencurian uang dengan cara membuat suatu transaksi yang fiktif terkait penjualan atau lainnya. Pada non-cash juga terdapat larceny, artinya pencurian barang pada saat transaksi seperti penjualan dan pengiriman dengan kuantitas yang salah.Misuse atau penyalahgunaan cenderung pada penggunaan asset perusahaan untuk keperluan pribadi. Skema fraudulent disbursements seperti penyaluran dana dari rekening perusahaan untuk tujuan kecurangan tetapi terlihat seperti cara yang normal (Singleton, 2006). 
3.      Fraudulent Statements
Jenis fraud ini sangat dikenal para auditor yang melakukan audit.Fraud ini berupa salah saji baik yang disengaja maupun tidak disengaja (Tuanakotta, 2007). Singleton dan Singleton (2010) menjelaskan jenis-jenisfraudulent statements adalah sebagai berikut:
a.  Timming Differences (Improper Treatment of Sales). Ada berbagai cara untuk membuat skema timing differences, yang bertujuan untuk membesar-besarkan pendapatan pada suatu periode fiskal. Salah satu caranya adalah untuk mendorong untuk melebihkan persediaan yang ada dan kelebihan tersebut dianggap sebagai penjualan sehingga seolah-olah persediaan dan penjualan tampak lebih besar.
b.      Pendapatan Fiktif (Fictitious Revenue). Pendapatan fiktif diciptakan dengan mencatat penjualan yang tidak pernah terjadi. Kecurangan ini dapat melibatkan pelanggan nyata atau pelanggan fiktif.  Hasil akhir dari kecurangan ini adalah peningkatan pendapatan dan keuntungan.
c.     Penyembunyian Hutang (Conceled Liabilities). Salah satu cara untuk membuat skema fraud ini adalah hanya menunda pencatatan hutang di akhir tahun periode fiskal sehingga tahun berjalan akan memiliki biaya yang lebih kecil, dan mencatat hutang pada bulan pertama tahun fiskal berikutnya.
d.  Pengungkapan Yang Tidak Memadai (Inadequate Disclosure). Perusahaan tidak mengungkapkan atas laporan keuangan secara cukup dengan maksud untuk menyembunyikan fraud yang terjadi. Kecurangan ini dilakukan dengan cara tidak memberikan informasi yang cukup terhadap apa yang terjadi di perusahaan kepada pengguna laporan keuangan dengan maksud untuk menutupi bahwa seolah-olah perusahaan dalam keadaan yang baik.
e.   Peniliaian Aset Yang Tidak Memadai (Improper Asset Valuation). Kecurangan ini dilakukan dengan meningkatkan nilai dari asset (seperti piutang, persediaan, asset jangka panjang), mengkapitalisasi biaya, atau dengan mengurangi akun pengurang (seperti cadangan kerugian piutang, depresiasi) sehingga asset akan menunjukan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai yang sebenarnya.

Konsep segitiga kecurangan (fraud Triangle)
Banyak pakar yang mengemukakan mengenai konsep penyebab kecurangan, salah satu konsep penyebab kecurangan yang saat ini sudah digunakan secara luas dalam praktik Akuntan Publik yaitu Konsep Fraud triangle. Sedangkan berdasarkan teori Fraud triangle merupakan teori yang harus dimasukkan ke dalam rencana audit kecurangan. Teori ini menyatakan bahwa kecurangan terjadi karena adanya tiga elemen seperti tekanan, kesempatan, dan pembenaran.Tiga elemen kecurangan hidup bersama pada tingkat yang berbeda di dalam organisasi dan mempengaruhi setiap individu secara berbeda (Karyono, 2013).Teori ini kemudian dikembangkan secara skematis oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE).ACFE menggambarkan fraud dalam bentuk fraud tree.Fraud tree ini biasanya disajikan dalam bentuk bagan.Fraud tree mempunyai tiga cabang utama, yaitu corruption, asset misappropriation, dan fraudulent statements (Tuanokotta, 2007).
Teori fraud triangle ini dicetuskan pertama kali oleh Dr. Donald Cressy, salah seorang pendiri Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) yang dikutip oleh pengarang auditing antara lain Steve Albrecht dalam bukunya Fraud Examination dan Alvin A. Arend CS dalam Auditing and Assurance Service (Tuanokotta, 2010).Dalam fraud triangle, perilaku fraud didukung oleh tiga unsur yaitu adanya tekanan, kesempatan dan pembenaran.Fraud ExaminersManual (Tuanokotta, 2010) menyebut  Donald R. Cressey sebagai mahasiswa  terpandainya Edwin H. Sutherland. Kalau penelitian Sutherland dipusatkan pada kriminalitas masyarakat atas, Cressey mencari arah yang lain dalam penelitiannya. Sewaktu menulis disertasi doktornya dalam bidang sosiologi, ia memutuskan untuk meneliti para pegawai yang mencuri  uang perusahaan (embezzlers). Ia mewawancarai 200 orang yang dipenjara karena fraud tersebut.
Cressey tertarik pada embezzlers yang disebutnya “trust violators”  atau “pelanggar kepercayaan”, yakni mereka yang melanggar kepercayaan atau amanah yang dititipkan  kepada mereka. Ia secara khusus tertarik kepada hal-hal yang menyebabkan mereka menyerah kepada godaan. Oleh karena alasan itu dalam penelitiannya, ia tidak menyertakan mereka yang memang mencari pekerjaan dengan tujuan mencuri. Setelah menyelesaikan penelitiannya, ia mengembangkan suatu model yang sampai sekarang merupakan model klasik untuk menjelaskan occupational offender atau pelaku fraud di tempat kerja (atau terkait dengan pekerjaan atau jabatannya). Penelitiannya diterbitkan dengan judul Other People’s Money: A Study In The Social Psychology Embezzlement. Hipotesisnya yang terakhir adalah (Tuanokotta, 2010):
 “Orang yang dipercaya menjadi pelanggar kepercayaan ketika ia melihat dirinya sendiri sebagai orang yang mempunyai masalah keuangan yang tidak dapat diceritakannya kepada orang lain, sadar bahwa masalah ini secara diam-diam dapat diatasinya dengan menyalah gunakan wewenangnya sebagai pemegang kepercayaan dibidang keuangan, dan tindak-tanduk sehari-hari memungkinkannya menyesuaikan pandangan mengenai dirinya sebagai seseorang yang bisa dipercaya dalam menggunakan dana atau kekayaan yang dipercayakan”.

          Terdapat empat faktor pendorong seseorang untuk melakukan fraud,
yang disebut juga dengan teori GONE, yaitu:
1. Greed (keserakahan)
2. Opportunity (kesempatan)
3. Need (kebutuhan)
4. Exposure (pengungkapan)
          Faktor Greed dan Need merupakan faktor yang berhubungan dengan individu pelaku fraud (disebut juga faktor individual).Sedangkan faktor Opportunity dan Exposure merupakan faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai korban perbuatan fraud (disebut juga faktor generik/umum).Kecurangan atau penipuan yang disengaja (intentional deception) adalah suatu strategi untuk mencapai sasaran strategi untuk mencapai sasaran individu atau organisasi atau untuk memuaskan kebutuhan manusiawi.Secara umum, daya saing yang kompetitif dapat menjadi motivasi untuk melakukan tindakan yang benar maupun yang tidak benar.Bila persaingan berlangsung secara ketat dan sangat kompetitif, melakukan hal yang tidak benar sering dianggap rasional (hal yang salah namun dianggap benar).
Adapun Skema segitiga kecurangan milik Cressey (1953) dalam Murphy (2011).Fraud Triangle sendiri terdiri atas tekanan (pressure), kesempatan (perceived opportunity), dan juga pembenaran (rationalization)  gambaran dari teori Fraud Triangle dapat dilihat pada Gambar 2.2
Sudut pertama dari segitiga itu diberi judul pressure yang merupakan perceived non-shareable financial need. Sudut keduanya perceived opportunity. Sudut ketiga, rationalization.
1.      Elemen Tekanan (Pressure/incentive)
Pressure adalah tekanan atau dorongan orang untuk melakukan kecurangan. Tekanan dapat mencangkup hampir semua hal termasuk gaya hidup, tuntutan ekonomi dan lain-lain termasuk hal keuangan dan non-keuangan (Murphy, 2011). Dalam hal keuangan contohnya adalah dorongan untuk memiliki barang-barang bersifat materi.Tekanan dalam hal non keuangan juga dapat mendorong seseorang untuk melakukan fraud, misalnya tindakan untuk menutupi kinerja yang buruk karena tuntutan pekerjaan untuk mendapatkan hasil yang baik (Murphy, 2011).
2.      Elemen Kesempatan (Opportunity)
Opportunity adalah peluang yang memungkinkan terjadinya kecurangan. Para pelaku kecurangan percaya bahwa aktivitas mereka tidak akan terditeksi. Peluang dapat terjadi karena pengendalian internal yang lemah, manajemen pengawasan yang kurang baik dan atau melalui pengunaan posisi. Kegagalan untuk menetapkan prosedur yang memadai untuk menditeksi aktivitas kecurangan (Karyono,2013). Dari tiga elemen dalam fraud triangle, kesempatan memiliki kontrol yang posisinya paling atas. Organisasi perlu membangun sebuah proses, prosedur dan kontrol yang membuat karyawan tidak dapat melakukan kecurangan dan yang efektif mendeteksi aktivitas kecurangan jika hal itu terjadi (Zimbelman. dkk.,2014).
3.      Elemen Pembenaran (Rationalization)
Rasionalisasi menjadi elemen penting dalam terjadinya kecurangan, dimana pelaku mencari pembenaran atas perbuatannya. Rasionalisasi merupakan bagian dari fraud triangle yang paling sulit diukur (Zimbelman. dkk.,2014). Bagi mereka yang umumnya tidak jujur, mungkin lebih mudah untuk merasionalisasi penipuan, dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki standar moral yang tinggi itu adalah hal yang tidak begitu mudah. Pelaku kecurangan selalu mencari pembenaran secara rasional untuk membenarkan perbuatanya (Karyono,2013).
Hampir semua kecurangan melibatkan elemen rasionalisasi. Sebagian besar pelaku kecurangan merupakan pelaku yang pertama kali melakukan kecurangan yang tidak akan melakukan kejahatan lain. Di satu sisi, mereka harus merasionalisasi ketidakjujuran tindakan mereka. Rasionalisasi umum yang digunakan oleh pelaku kecurangan (Zimbelman. dkk.,2014).





Refference



Albrecht, W.Steve, Albrecht O. Chad, Albrecht C. Conan and Zimbelman F. Mark. (2012). “Fraud Examination” South-Western, Cengage Learning
Amundsen, J.C., Mrazek, M. (1999). Corruption And Pharmaceuticals­: Strengthening Good Governance to Improve Access. Poverty Reduction and Economic Management
Cressey, D.(1953). Other people’s money; a study in the social psychology of embezzlement. Glencoe, IL:FreePress.
Karyono.(2013). Forensic Fraud.Andi. Yogyakarta
Murphy, Pamela R and M Tina Dacin. (2011). Psychological Pathways to Fraud: Understanding and Preventing Fraud. Journal of Business Ethics (2011) 101:601-618
Tuanakotta, Theodorus M. (2007). Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Widiyastuti, Marcelllina dan Pamudji Sugeng. 2009. Pengaruh Kompetensi, Independensim Dan Profesionalisme Terhadap Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan”. Jurnal UNIMUS, Vol 5, No. 2, 52-73.
Zimbelman, Mark, Helen Marsden and Gregory C. Cizex. (2009) . Fraud Examination. third edition. South-Western Cengage Learning : USA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar